Malam minggu malam yang panjang, malam yang asyik buat pacaran. Adalah salah satu lagu yang populer di era 80an. Lagu tersebut muncul karena terinspirasi oleh gaya hidup anak muda yang selalu menunggu dan menunggu detik-detik menuju kebebasan dari rutinitas yang pelik mencekik. Malam minggu diibaratkan sebagai surga bagi setiap insan, tak peduli tua ataupun muda, semua gembira memukul genderang senang menuju kemenangan. Seorang pemuda sedang sibuk menyiapkan bunga dan kata-kata romantis untuk kekasihnya. Sedangkan sang pemudi sedang berpacu dengan waktu sambil kebingungan mencari padanan pakaian yang pas dengan tas dan sepatunya untuk digunakan saat pangerannya datang menjemput. Inilah rutinitas muda-mudi yang tumbuh dan berkembang di kota metropolitan dengan modernisasi yang sporadis dan sentralis dalam balutan kesenjangan yang harmonis. Namun tidak demikian dengan saya. Kehidupan malam minggu yang sarat akan penggalan episode tentang cinta, seolah terbang bersama angin berhembus mendorong perahu layar menuju persinggahan sementara, sebuah babak baru dalam pengalaman hidup. Kebersamaan dan kepuasan tak terperi yang kebetulan terjadi.
9 juni 2012 pukul 20.00 WIB. Saya menghabiskan malam minggu dengan makan malam bersama keluarga. Nasi goreng Guan Tjo menjadi destinasi malam dengan sensasi angin sepoi-sepoi disekelilingnya. Guan Tjo adalah salah satu nasi goreng fenomenal di kota hujan ini. Bukan karena harganya yang murah meriah, namun karena tekstur nasi goreng yang garing seperti berkerak yang dipadu dengan rasa yang tidak gurih seperti kebanyakan nasi goreng lainnya. Bau khas nasi goreng menyambut kedatangan saya dan keluarga. Kami pun langsung memesan nasi goreng pete andalannya. 15 menit kemudian, empat piring nasi goreng sudah terhidang di depan kami. Wangi bumbu khas guan tjo menyeruak masuk ke dalam saluran pernafasan, mengirimkan sinyal lapar ke lambung, menghasilkan saliva, dan memerintahkan organ tangan untuk segera mengeksekusi hidangan di depan mata. Ketika lidah, gigi, dan lambung sedang sibuk menjalankan peran masing-masing, hati pun tak mau kalah ikut berdendang lagu lawas karya biduan Belanda, Wieteke Van Dort. Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei Wat sambal en wat kroepoek
Seiring dengan laju pengurangan nasi goreng di piring, jumlah pengunjung semakin meningkat pesat. Apabila dibuat grafik dengan koordinat X sebagai laju peningkatan jumlah pengunjung dan koordinat Y sebagai tingkat pengurangan porsi nasi goreng dalam piring, maka akan dihasilkan suatu garis yang landai yang merefleksikan fenomena malam minggu di kedai kaki lima. Senda gurau dan obrolan hangat ala keluarga pun mengalir seiring bergulirnya waktu. Ya, keluarga kami adalah keluarga yang tidak biasa karena kami hidup terpisah satu sama lain. Orang tua saya tinggal di dataran tinggi kabupaten Bandung Selatan sedangkan saya tinggal di suatu pemukiman padat penduduk di belahan kota Bogor. Maka, momen-momen kebersamaan ini sangat jarang terjadi karena kesibukan padat masing-masing serta jarak tempuh yang tidak dapat dikatakan dekat. Kehangatan bercengkrama dibalut oleh desah angin malam yang bergerak ringan menerbangkan tawa yang terserak hingga langit ke tujuh. Seorang anak remaja gempal datang menghampiri sambil menjajakan sesuatu dari keranjang birunya. "Bu, otak-otaknya bu?" Spontan saya dan ibu saya memalingkan muka, seolah ia menyergap dan mencuri momen tawa kami selama 2 jam. "Makasih, Bu" Ia berlalu, pamit dengan sopan. Deg! Jantungku seakan berhenti memompa darah. Remaja itu. Ia sangat mirip dengan sepupu saya. Seorang pribadi yang pantang menyerah dan ulet dengan sifat melankolis tercermin dari cara ia memperlakukan orang lain. Mendadak saya menyesal dengan sikap yang sangat tidak bersahabat tadi. Seorang remaja pun bisa bersikap sopan, sedangkan saya, seorang yang mencap dirinya telah dewasa dengan mudahnya bersikap angkuh dan arogan layaknya Madam Umbridge di serial Harry Potter? Tanpa diperintah, saya mata-matai remaja tadi. 180 derajat pandangan saya terhadapnya. Dia sedang melayani pembeli lain di pojok sana. Dalam hati saya mengucap syukur karena beberapa orang pengunjung tertarik untuk membeli dagangannya. Menit demi menit pun berlalu. Ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sandi morse pun saya layangkan untuk memberi kode kepadanya agar ia merapat ke tempat kami. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya remaja itu datang juga. Senyum ceria khas anak-anak tersungging dengan ikhlasnya dari balik bibir merah jambunya. Dia tawarkan satu demi satu dagangannya. Otak-otak, ngohiang ikan, bakso sapi, dan bacang isi daging sapi merupakan modalnya untuk menghabiskan malam. Atas dasar rasa kasihan yang dikaburkan dengan alasan ingin mencoba, saya dan ibu membeli beberapa item kudapan tersebut. Sambil melayani, saya pun iseng mewawancarai dia. Jawaban yang terlontar terangkai dengan jelas dan lugas disertai kerendahan hati yang tertanam kuat di dalam dadanya. Dalam diam saya berpikir ketika saya seumur dia, apa yang sedang saya lakukan ketika malam minggu tiba? Menonton serial Tintin, membaca novel Lima Sekawan, atau mendengarkan M2M? Tidak ada sama sekali terbersit suatu keinginan untuk berjualan sesuatu untuk sekedar menambah uang jajan pribadi. Demikianlah catatan masa remaja saya yang kuno dan sangat tidak future-minded. Mungkin, apabila saya dipaksa dan terpaksa, masa remaja saya bisa sama seperti dia. Namun, kenyataannya tidak. Dahulu, menjadi seorang pengusaha bukan menjadi prioritas utama masa depan. Profesi bertitel lebih diminati karena dipandang lebih menghasilkan uang tanpa perlu berspekulasi. Oleh karena itu program-program kewirausahaan pun belum menjamur seperti sekarang. Hasilnya adalah generasi dengan kreativitas yang minim ide, ketakutan akan kepailitan usahanya, dan gengsi akan status pekerjaan. Ya, demikianlah saya, cerminan generasi tersebut yang sedikit demi sedikit mensugestikan pikiran untuk pindah ke kuadran lain. Rupiah demi rupiah sedang saya gadaikan untuk menghargai jerih payah sang remaja yang dengan ikhlas menukarkan waktu bermain dan istirahat demi beberapa lembar seratus ribuan. Hawa malam yang panas menambah peluh yang mengalir tiada henti di sela rambutnya. Kegempalan tubuh dengan muka yang innocent serta mata yang seolah terpejam ketika tertawa menambah kesan lucu dan humoris pada dirinya. Ia adalah cerminan generasi muda yang sesungguhnya. Generasi yang tak pernah menyerah walau rintangan sebesar gunung dengan gemuruh badai yang terus menerjang. Pertemuan singkat tersebut menorehkan ingatan tajam tentang kesederhanaan yang ia ceritakan secara halus kepada saya. Lima menit bertransaksi, seumur hidup terinspirasi. Dengan gamblang, ia seolah memaparkan tentang arti pantun yang populer semasa SD, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ia memupuk keahlian dalam berwirausaha sedari dini. Ia gadaikan waktu santainya dengan bekerja keras. Ia biasakan diri untuk berkehidupan sederhana dalam tiap jejak langkahnya. Ia tarik urat ketidakpercayaan diri untuk dipoles menjadi seorang menawan nan bijak. Walaupun hidup adalah pilihan dengan rencana Tuhan dibaliknya, ia mendelegasikan dirinya sebagai wakil dari keluarganya yang sedang belajar menahan perih menjadi kerang mutiara yang berharga.
Malam minggu ini sungguhlah malam yang berbeda dari kebanyakan malam yang telah saya lewati. Cerahnya langit dengan tiupan angin ringan menambah kesyahduan malam minggu yang saya isi dengan torehan amal secara tidak langsung kepada sang remaja. Bukan bermaksud riya, namun saya pribadi lebih menghargai orang yang berjualan sesuatu dibandingkan dengan orang yang hanya sekedar meminta belas kasihan orang lain. Peluh yang dihasilkan memang sama, rasa lelahnya pun tak jauh beda, namun tiap karya otentik hasil jerih payah memiliki hak untuk dihargai lebih dibandingkan mimik muka memelas hasil akting terskenario. Tangan diatas memang lebih baik daripada tangan dibawah. Sesungguhnya dari 10 pintu rejeki, 9 diantaranya adalah hasil berniaga.
His name is Richard, junior high school student, helping his mother to sell chinese foods, and God bless him.