***
Orang
Perancis “lucu’ meski situasinya sama sekali tidak lucu. Yang lucu/tidak lucu
itu adalah pengumuman larangan baju renang burkini, yaitu baju senam “islamiah”,
setengah burkah, setengah bikini, oleh sejumlah wali kota daerah Riviera, di
Perancis Selatan.
Alasannya
menarik : karena tidak sesuai dengan asas sekularisme ala Perancis (laicite),
yaitu kenetralan mutlak terhadap agama yang dianut oleh negara Perancis. Jadi,
kenetralan agama, serta perilaku sosial “yang wajar” menuntut bahwa perempuan
memperlihatkan pahanya!! Seru, kan? Saya pribadi bisa memahami mengapa calon
Arjuna setempat merasa frustasi, tidak merasa frustasi, tidak boleh menikmati
pemandangan paha perempuan gara-gara, konon, ditabukan memajang paha tersebut
oleh tafsir agama yang lagi ngetren. Saya
juga bisa memaklumi balikannya, yaitu hasrat para lelaki yang konon “soleh”
untuk mempunyai monopoli absolut atas paha perempuannya, baik secara visual
maupun keinginan selanjutnya. Ya, saya bisa memahami itu semua, karena mau
tidak mau “seksisme” terus menghinggapi diri saya sebagai lelaki. Ehehe.. wow. Namun,
alasan bahwa seorang prempuan bisa disuruh membuka burkininya untuk diganti
bikini agar sesuai dengan asas kenetralan negara di dalam bidang agama, membuat
saya bengong beneran.
Namun,
teman-teman, bukan hanya di Perancis yang “lupa daratan” dalam hal ini.
Indonesia tidak kurang menarik. Sekitar dua minggu lalu seorang perempuan
Indonesia, yang konon “sopan” karena berjilbab, telah membuat onar karena
memasarkan bihun bermerek Bikini dengan tagline
“remas aku”. Begitu hal ini diketahui, ramainya bukan kepalang! Dituduh “meresahkan
masyarakat”, “berbau pornografi”. “tak beretika”, “tak sesuai dengan
nilai-nilai bangsa”, dan lain-lainnya. Ujung-ujungnya, seperti di dalam hal
burkini di Perancis di atas, polisi ikut unjuk muka, konon untuk menegakkan
kembali norma-norma yang berlaku umum di masyarakat. Seolah-olah bikini memang
tidak pantas sebagai baju renang, dan sepertinya istilah “remas aku” –betapa pun
vulgarnya- merupakan pelanggaran yang sesungguhnya. Peristiiwa “mi remas” ini
pun membuat saya bengong.
Bila
ditilik lebih lanjut, makna dari kedua peristiwa di atas lebih dari sekadar “pelanggaran
terhadap nilai-nilai bangsa” : Sejarah menafikan absolutisme dari kedua ragam
norma itu. Di Eropa, sebelum Perang Dunia Kedua (1939-1945) semua perempuan
memakai baju renang berlengan panjang yang mirip burkini –yang kini ditolak
sejumlah walikota Perancis. Adapun di Indonesia, yang perempuannya konon “sopan”,
bikini sejak dulu tidak dikenal, dan tidak perlu dikenal, oleh karena pada
umumnya kaum perempuannya mandi di sungai setengah telanjang. Di dalam sejarah,
apa pun pendapat para juru “moral”, konsep kesopanan memang senantiasa
berubah-ubah.
Yang
kini terjadi ialah bahwa tubuh perempuannya telah menjadi ajang, bahkan dikerek
bak bendera, dari pertarungan antar budaya. Terutama antara dunia Islam dan
dunia Barat. Fenomena ini adalah efek langsung dari globalisasi, yang
meluluh-lantakkan semua tatanan lama. Di Eropa, gelombang imigrasi
besar-besaran pekerja Magribi, Turki, dan Pakistan berlangsung sepanjang tahun
60-an dan 70-an, sehingga mengubah secara signifikan komposisi etnis
masyarakat. Tahu-tahu, bukanlah partai-partai sosialis yang dijadikan sarana
perlawanan anti sistem kapitalisnya, melainkan agama. Atas nama demokrasi, dan
didukung uang minyak kaum Wahabi, muncullah aneka perjuangan untuk memberikan
status sah pada versi hiper-konservatif dari
Islam, dengan pemisahan sosiologis yang terkait. Apa bendera utamanya? Perempuan
Islam dengan seragam konsevatif khasnya. Fenomena itu menimbulkan reaksi “anti
Islam” atau ultra kanan dari masyarakat setempat, yang merasa kesetaraan
jendernya terancam.
Sebaliknya
di Indonesia, dipersepsikan sebagai faktor penyerang adalah “Barat”, yang
pengaruhnya merasuki semua pori dari sistem ekonomi dan media. Pengaruh itu
tidak terelakkan, tetapi juga dilawan –juga didukung oleh uang kaum Wahabi. Akibatnya
(antara lain)? “Perpecahan” bukan antara kelompok religius-etnis seperti di
Eropa, tetapi di dalam diri perempuan Islam itu sendiri, melalui penampilannya:
Dia diharapkan “soleh”, maka semakin sering berjilbab, tetapi diharapkan juga trendy dan memperlihatkan “kuasa” atas
tubuhnya sendiri, maka tak segan bercelana ketat. Skizofrenia benar : tubuhnya
dijadikan medan pertarungan antara “arabisasi” di kepala dan “westernisasi” di
panggul. Menarik bukan?
Ini
semua bagi saya absurd, karena saya sebagai lelaki, tidak pernah merasa bulu
dada saya dicap menjadi bendera budaya apa pun. Gombal!
(Penulis : Jean Couteau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?