“..Gile ini pemandangan ajib
amat!..” –di suatu pagi di roof-top
Menara air Tirtanadi, Medan (from roof top) |
Pagi
di Medan tak seperti biasanya. Suhu pagi ini terasa demikian dingin. Mungkin
hujan atau ac yang kelewat rendah. Entah, yang pasti adzan subuh di Medan lebih
siang dibandingkan Jakarta. Pukul setengah 6, adzan subuh baru berkumandang.
Seperti perjanjian sebelumnya, saya harus sudah siap dijemput pukul 7 pagi. Itu
artinya saya harus sarapan di awal waktu, yaitu sekitar pukul 6. Dengan langkah
gontai saya menuju kamar mandi walau mata sepertinya masih lima watt dan
hangatnya selimut menggoda iman untuk beranjak bangun dari peraduan. Tak sampai
satu jam, saya sudah siap dengan kupon sarapan yang berlokasi di puncak hotel
alias Roof-Top. Saya pernah sekali sarapan di roof-top hotel Hermes ini.
Suasananya memang menggiurkan untuk berlama-lama menghirup atmosfer pagi nan
segar. Sayangnya, saat itu suasana terlalu ramai sehingga spot tempat duduk
yang oke sudah diambil orang. Bagaimana dengan pagi ini? Mari kita lihat.
Saya
adalah tamu pertama yang datang ke Sirocco, nama roof-top restaurant ini,
sehingga saya bebas memilih tempat duduk dengan pemandangan yang diinginkan.
Sayang, hujan ternyata telah duluan datang. Tempat duduk idaman basah kuyup
tersiram derasnya hujan dini hari. Namun, itu tak melunturkan niat saya untuk
menyambangi tempat duduk strategis tepat menghadap ke arah pusat kota. Pemandangan
setelah hujan memang berbeda dibandingkan dengan cuaca cerah. Terasa lebih
segar karena paduan tetesan air yang membias terkena cahaya lampu dan mentari
pagi yang perlahan muncul malu-malu. Sambil menghirup aroma teh panas, saya
mencoba membayangkan. Apabila malam menjelang, beratapkan langit kelam nan
cerah berpadu lampu gedung dan kendaraan lalu lalang, ditemani dengan musik
syahdu, menciptakan suasana romantis apalagi ditemani oleh sang pacar. Sungguh,
dunia benar-benar milik berdua. =p Menu yang ditawarkan di restoran ini memang
terbilang biasa saja. Yang dijual disini adalah suasana hangat dan romantisnya.
Walau harganya tak bisa dibilang irit, bila tempatnya membuat hati terbang ke
langit, pasangan kasmaran mana yang bisa menolaknya? Hihi.
Rencananya,
malam kedua saya akan dihabiskan dengan wisata kuliner kembali dengan teman
lama. Namun, karena kesibukan dia yang memuncak, akhirnya saya memutuskan untuk
memenuhi hasrat perut sendiri. Dengan bermodalkan google map dan ingatan sekenanya,
saya nekad menyetop taksi dan mengarahkannya ke jalan sekip untuk membeli lempo
atau dodol durian favorit keluarga. Kemudian, dengan taksi yang sama, saya
pergi ke kedai mie aceh yang menurut orang sih terkenal di kota Medan ini.
Namanya Mie Aceh Titi Bobrok yang berlokasi di Jalan Setia Budi. Jaraknya
lumayan jauh juga sih, tapi demi menuntaskan nafsu kuliner, sejauh apapun asal
masih di Medan, saya jabanin! Hehe. Menu yang saya pesan kali ini adalah mie
aceh kepiting dan roti cane kari. Ketika pesanan datang, wow..banyak sekali
porsinya. Lupakan diet, bersiap melebarkan usus untuk mencerna suap demi suap
hasil kuliner malam ini. Aroma rempah mie aceh sungguh menggoda lidah untuk tak
berhenti bergoyang. Penampakan kepiting dan posisi peletakkannya di piring agak
sedikit menakutkan untuk saya, namun marilah kita coba mungkin daging yang
disajikan berlimpah, who knows? Saya pun mencoba mengeksekusi sang kepiting.
Karena tidak disediakan alat pemecah kulit, maka apa boleh buat, dengan bantuan
gigi geraham saya coba untuk memecahkan kulit yang sangat keras sampai-sampai
timbul suara ‘KRAAK’ lumayan keras. Untuk mencoba menu yang satu ini, saya
sarankan untuk tidak makan dengan pacar, karena level jaim akan langsung turun
drastis ke level nol atau minus. Ilfil deh, masih mending, coba kalau sampai
menyebabkan putus, kan ga elit banget. Hehe. Mie aceh selalu disajikan dengan
acar timun, potongan jeruk limo, dan kerupuk singkong. Mungkin sebagai
penyeimbang bumbu mie aceh yang hot ‘n spicy. Menu mie aceh telah habis
disikat, nah sekarang giliran roti canenya. Rasa roti canenya biasa saja sih.
Kuah karinya pun terlalu encer. Yah maklum saja, harganya 6 ribu rupiah,
porsinya lumayan jumbo namun karena nafsu lebih besar daripada kapasitas perut,
maka saya putuskan untuk membungkusnya untuk teman ngopi besok pagi. Harga yang
saya bayar untuk seporsi mie aceh kepiting adalah 9 ribu rupiah saja ditambah roti
cane 6 ribu dan teh tong 2 ribu. Makan malam murah meriah, 17 ribu sudah
berlimpah ruah, coba kalau dibandingkan Jakarta, mie aceh plus plus mana dapet
17 ribu? Thanks God It’s MEDAN! =D
Setelah
kenyang berkuliner, saya pun memutuskan untuk mencari taksi untuk pulang. 15
menit sampai hampir 30 menit saya menunggu, tak ada taksi satu pun yang lewat.
Akhirnya, setengah nekad, saya menyetop becak motor alias bentor. Tadinya mau
langsung ke hotel, tapi takut kejauhan, saya putar haluan ke Supermarket Berastagi
yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto seberang hotel Grand Elite, tempat saya
menginap tempo hari. Sebenarnya, di kawasan hotel Grand Elite ini banyak yang
berjualan mie aceh. Rasanya pun tak jauh dari Mie Aceh Titi Bobrok dan yang
pasti harganya lebih murah. Seporsi mie aceh dengan topping daging kambing
dibanderol dengan harga 6 ribu saja. Namun, porsinya sih ¾ kali Mie Aceh Titi
Bobrok, porsi paling pas untuk perut saya. Nah, perjalanan malam-malam naik
bentor adalah pengalaman pertama saya selama ke Medan. Sendiri pula. Untung
saja abang pengemudinya termasuk yang jujur dan baik, kalau tidak waduh, bisa
terjadi adegan penculikan hingga perampokan apalagi jalanan Medan di atas jam 9
itu termasuk sepi dibandingkan Jabodetabek. Makanya, hati-hati kalau di Medan
malam-malam dan sendirian. It’s better for you to go by taxi than Bentor for
sure. Sampai di Supermarket Berastagi, saya langsung menuju ke bagian produk
jajanan lokal. Saya mencari Keripik Singkong Balado khas Padang merk Christine
Hakim. Sayangnya, saya kurang beruntung. Tak ada satu pun stock disana.
Supermarket Berastagi ini terkenal dengan buah-buahannya yang beragam dibanding
supermarket lain serta produk impor dari Singapura, Malaysia, Thailand,
Vietnam, hingga Amrik pun berjejer dijajakan. Kalau dari harga sih ya sama
sajalah. Sebut saja coklat Hersey’s harganya 90 ribuan hingga 200 ribuan.
Relatif mahal, tapi lengkap. Itulah alasannya semakin malam supermarket ini
semakin ramai saja.
Pukul
21.30, saya beranjak pulang. Dengan harap-harap cemas, saya menunggu taksi
tepat di depan Supermarket. Masa sih supermarket segede ini ga ada taksi yang
ngetem? Eh ternyata pertanyaan hati kecil saya itu salah besar. Setengah jam
saya menunggu, tak ada satu pun taksi yang lewat. Akhirnya, ada seorang pria
yang berbaik hati untuk mencarikan taksi untuk saya. Lucky me, 10 menit
menunggu, taksi bergambar burung biru pun menghampiri. Walaupun Medan di malam
hari lumayan sepi dan saya dihantui berita tak sedap tentang kejahatan di malam
hari, namun saya bersyukur perjalanan saya tak dinodai kenyataan pahit. Thanks
to every nice guy who contibuted my night out =)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?