Siang itu, panas
Jakarta makin membara, layaknya percikan api yang disiram dengan bensin.
Demikian pula suasana di kerumunan itu. Riuh dan penuh dengan para pecinta
literatur dan seni, dengan harapan dapat menyapa sang pujaan, mendapatkan tanda
tangan, hingga koneksi untuk masa depan. Lalu, saat sang idola muncul di depan
mata, seketika sadar bahwa jurang penghalang tak lagi terbentang. Kita duduk
berhadapan. Yang tadinya tak terbayang, kini jadi kenyataan. Akhirnya. – Taman Ismail Marzuki, 7 Mei 2016
***
Dee Lestari dalam acara In Conversation with Dee Lestari : 15 Years Journey, TIM, 7 Mei 2016- Dok. Devina |
Demikian.
Itulah yang kira-kira dirasakan oleh pengagum karya Dewi Dee Lestari. Saya
salah satunya, yang demikian menikmati setiap paragraf yang terangkai cantik
dalam Supernova, Madre, Filosofi Kopi, Perahu Kertas, dan Recto Verso. Nah,
dalam rangkaian acara ASEAN Literary Festival 2016 di Taman Ismail Marzuki,
penggemar Dewi Dee Lestari disuguhkan menu bincang-bincang dengan tajuk In
Conversation with Dee Lestari : The 15 Year Journey dengan moderator Nathalie
Indry. Perbincangan ini dibuka dengan pertanyaan : apa arti 15 tahun bagi Dee
Lestari?
Bagi
Dee, 15 tahun adalah sebuah proses untuk menempa diri sebagai seorang manusia.
Menulis adalah medium yang secara konsisten dilakukan oleh Dee. Dalam kurun
waktu itu, 5 karya Supernova lahir. Dari mulai prekuel : Ksatria, Putri, dan
Bintang Jatuh ; lalu disusul dengan Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan
terakhir Intelegensi Embun Pagi. Di sela-sela itu, lahir pula novel lainnya
seperti Perahu Kertas, Madre, Filosofi Kopi, dan Rectoverso. Dee pun ingat
saat-saat pertama kali Supernova hadir dalam hidupnya. Berawal dari kegemarananya
dalam membaca buku sains, roman, sastra, komik, dan berbagai genre bacaan,
membuat Dee senang berimajinasi tentang berbagai karakter yang hadir dalam
benaknya. Selain itu, menurut Dee, ada suatu sensasi penasaran yang muncul
ketika ia membaca berbagai serial dan cerita bersambung di majalah atau buku
fiksi. Ditambah juga dengan kegelisahan tentang hidup dan semesta yang membuka
gerbang pikirannya untuk bertanya, mencoba mencari tahu jawabannya, muncul
pertanyaan lanjutan, dan seterusnya. Hal tersebut pun menjadi cikal bakal Dee
untuk berpikir luas dan lebar serta menyalurkannya melalui karya berbentuk
tulisan. Dengan seabreg karya yang
sudah dihasilkan, Dee yang sebelumnya tidak berpikir untuk menjadi seorang
penulis pun menyadari akan minat dan medium untuk penyalurannya. Oleh karena itu,
Dee membayangkan apabila suatu saat nanti ia bisa membaca buku yang ditulis sendiri
dari karakter yang ia ciptakan dalam ruang imajinasinya, maka itu dapat menjadi
hadiah terindah dalam hidupnya. Hadiah itu akan ia berikan pada diri sendiri
pada saat ia berulang tahun ke-25 karena Dee melihat temannya mendaki Gunung
Kilimanjaro sebagai hadiah bagi dirinya saat itu. Memang agak kompetitif sih,
tapi ternyata motivasi itulah yang membuat Dee menargetkan dirinya untuk
menyelesaikan serial Supernova yang pertama, yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang
Jatuh (KPBJ). Alasan itu juga yang menjadikan KPBJ diterbitkan secara mandiri
atau self-publishing.
Dalam
proses menulis, apalagi selama 15 tahun berproses, Dee memegang prinsip dasar
yaitu menulislah dari hal yang disukai sehingga apabila di tengah prosesnya
mengalami kendala, kecintaan terhadap tujuannyalah yang akan membantu membakar
semangat kembali. Hal ini membuat Dee tetap setia pada ide yang diusung dalam
berbagai karyanya walau pada awalnya ia pun bertanya-tanya apakah buku yang ia
tulis dan publikasikan dapat diterima pembaca dan membentuk pasarnya sendiri?
Jawabannya pun ia dapatkan ketika bukunya sudah dipublikasikan secara nasional
dan mendapat beragam kritikan. Ada yang memuji, banyak pula yang mengoreksi.
Banyak yang menjadikan karyanya sebagai referensi, ada pula yang mencaci karena
dianggap sok-sok-an dikategorikan
sebagai karya sastra. Padahal, waktu itu belum ada buku fiksi ilmiah yang juga
mengandung unsur puisi didalamnya sehingga seringkali toko buku salah
menempatkan KPBJ di deretan kategori Ilmu Alam atau Psikologi. Pada awalnya Dee
kaget karena tidak menyangka respon publik sedemikian dahsyatnya. Namun, ada
hal yang mencengangkan dan menjadi titik balik Dee dari kejadian tersebut.
Ternyata, setelah Dee menghitung jumlah kritik dan pujian, ternyata hasilnya fifty-fifty atau seimbang. Dee pun
merenung. Pada dasarnya, keseimbanganlah yang dicari dalam hidup dan itu
terjadi dalam karyanya. Dari titik itu, Dee mengobservasi dan berefleksi, bahwa
dari segala sudut pandang yang mengomentari karyanya, ia menyadari tidak semua
pendapat orang harus ia dengar dan pikirkan. Ada pendapat yang objektif, hal
ini bisa diambil pembelajarannya, namun tak sedikit juga yang subjektif. Dee
pun sadar bahwa ia tidak bisa membahagiakan semua orang melalui karyanya
sehingga jalan bijak yang bisa Dee ambil adalah memperbaiki setiap karya yang
ia ciptakan dan publikasikan. Dee menyebutnya sebagai momen break-through atau terobosan.
Dee
menjelaskan pandangannya tentang definisi seorang penulis. Menurutnya,
seseorang belum dikatakan sebagai penulis apabila ia belum merasakan kesulitan
dalam mencurahkan ide dan waktunya untuk membuat sebuah karya. Jadi, kesulitan
adalah bagian yang harus dialami dalam proses menulis. Maka dari itu, setiap
penulis perlu waktu rehat sejenak dari rutinitas. Idealnya, waktu bekerja itu
sama dengan waktu istirahat sehingga pikiran kita bisa lebih jernih dan
menemukan kembali ritmenya. Hal ini dilakukan Dee ketika selama 15 tahun
mengalami berbagai fase kehidupan. Di mulai saat masih single sehingga dapat menulis kapan pun. Lalu, beranjak ke fase
berikutnya yaitu menikah, hamil, dan melahirkan sehingga otomatis mengubah
ritme waktu menulisnya. Kala itu, dapat dikatakan menjadi salah satu titik
tersulit dalam hidupnya karena ia harus beradaptasi dengan semua perubahan.
Perencanaan dan target waktu menjadi mercusuar untuk memacu dirinya menyelesaikan
Supernova dan karya-karya lainnya.
Kemudian,
apakah Dee akan berhenti setelah Intelegensi Embun Pagi (IEP)? Sambil tersenyum
penuh arti, Dee menjawab bahwa baginya tanda tanya yang sengaja diselipkan di
akhir halaman IEP merupakan awal mula untuk melanjutkan kisah berikutnya. Tunas
kisah tersebut masih satu nafas dengan Supernova yaitu tentang pencarian jati
diri dan pertanyaan lainnya seputar kehidupan serta semesta. Hal ini pun
dikuatkan dengan pernyataan dari Dee bahwa pada dasarnya Dee selalu mendambakan
sebuah karya dengan akhir tanda tanya karena setiap jawaban bersifat temporer
sehingga akan ada pertanyaan baru dari setiap jawaban yang diberikan.
Selama
1,5 jam berbincang bersama Dee, saya banyak belajar tentang seluruh proses
panjang perjalanan menuju puncak kesuksesan Supernova dan karya lainnya.
Tentunya dengan berbagai tantangan yang silih berganti. Tekad kuat dan
kesetiaan pada tujuan merupakan lampu-lampu yang menuntun Dee hingga sekarang
ini. Ketika acara ini sedang digelar pun ternyata di luar sana sedang ada
demonstrasi dari Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Islam yang menuntut
dibubarkannya ASEAN Literary Festival 2016 karena diduga ada unsur komunisme dan
separatisme Papua yang dimasukkan ke dalam rangkaian acara ini. Mungkin mereka
kurang piknik. Belum juga jadi peserta, sudah main tuduh duluan. Mungkin, kalau
mereka hadir sebagai peserta bersama saya, pikirannya bisa lebih terbuka
sehingga tahu bagaimana cara untuk mencari jati diri selain dengan demonstrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?