“Kenapa sih kamu hampir tidak pernah absen untuk hadir rapat
di malam hari dan hampir setiap hari?” Tanya saya kepada salah satu relawan
yang rajin datang untuk berdiskusi tentang salah satu kegiatan kerelawanan di
kantor saya. “Hmm..kenapa ya? Seneng aja. Bisa ketemu dengan sesama teman
relawan lain, bisa ketawa bareng, dan saling berjejaring sehingga saya merasa work-life-balance di sini”.
*********
Bukan sekali atau dua kali saya
menemukan jawaban yang serupa ketika saya berbincang dengan para relawan.
Mereka datang dari berbagai latar
belakang pekerjaan dengan motivasi yang hampir sama yaitu ingin membentuk
lingkar pertemanan yang positif serta berkontribusi bagi orang lain melalui
kegiatan sosial. Mereka memiliki kepercayaan yang sama yaitu apabila sebuah
kegiatan dilakukan secara bersama-sama maka dampaknya akan terasa lebih besar
daripada dikerjakan secara sendiri-sendiri.
Maraknya komunitas yang terbentuk di Indonesia,
membuat saya bertanya sendiri.
Apa tujuan besar dari perkumpulan individu-individu tersebut? Apakah hanya
sekadar mencari kepuasan diri untuk
melesap sebentar dari rutinitas yang menjemukan? Bila kita tengok beberapa
komunitas yang sedang marak diperbincangkan di dunia maya, seperti komunitas
jalan-jalan, komunitas berkebun, komunitas sastra, komunitas mengajar,
komunitas taman baca, komunitas bermusik, komunitas memasak, dan lain
sebagainya, kita bisa menemukan berbagai kegiatan sesuai dengan nama komunitas
tersebut. Mungkin apabila kita perhatikan, komunitas hobi spesifik yang
membutuhkan keahlian antara lain bermusik, fotografi, menyelam, paduan suara, atau
profesi tertentu kegiatannya terfokus pada pengembangan dan peningkatan
kapasitas anggotanya, baik melalui diskusi sesama anggota maupun terjun
langsung di lapangan. Contoh riilnya adalah Komunitas Taman Suropati Chamber
yang anggotanya tak hanya memiliki minat tinggi dalam memainkan musik, namun
juga secara otomatis harus menguasai salah satu alat musik walau levelnya belum
mahir. Pada perjalanannya, para anggota pun menjadi terasah keahlian
bermusiknya melalui praktik langsung dari anggota lain yang sudah mahir dan
pertunjukkan langsung di Taman Suropati dengan penontonnya yaitu masyarakat
umum yang sedang berkunjung ke Taman Suropati. Selain itu, ada pula komunitas
fotografi seperti Komunitas Belajar Fotografi (JARI) yang berisi para
fotografer baik profesional maupun amatir yang juga memiliki semangat untuk
pengembangan kapasitas anggotanya dengan melakukan street hunting photography hingga kompetisi fotografi. Selain
menyalurkan minat, berbagai kegiatan dalam komunitas tersebut pun dapat
memperluas pertemanan hingga membuka peluang bisnis.
Selain kategori komunitas di
atas, tumbuh pula berbagai komunitas lainnya yang menyasar pada masyarakat umum
tanpa ada prasyarat apapun sebelum bergabung didalamnya. Biasanya, komunitas
ini menjangkau berbagai kalangan tak peduli usia, profesi, bahkan keahlian. Memang,
ada komunitas yang hanya menyasar pada level masyarakat tertentu, namun
jumlahnya masih kalah besar dengan komunitas yang heterogen.
Komunitas-komunitas tersebut kebanyakan dibentuk karena adanya kesenjangan akan
aktualisasi diri dan kebutuhan sosial untuk diterima apa adanya oleh orang
lain. Mereka pun berinisiatif untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat
sosial untuk membantu sesama. Ada yang bergelut dalam kegiatan pendidikan
seperti mengajar sehari tentang berbagai profesi di sekolah dasar, mengajar
anak jalanan, mendirikan taman baca, atau bermain bersama anak-anak di panti
asuhan ; kegiatan yang sifatnya memberi bantuan seperti memberikan buku kepada
perpustakaan sekolah, memberikan alat peraga pengajaran kepada sekolah-sekolah,
memberikan makanan bergizi kepada panti asuhan, atau mendonasikan sejumlah dana
untuk pembuatan rumah ibadah ; kegiatan cinta lingkungan seperti membersihkan
pantai, gerakan menanam sejuta pohon, atau kampanye untuk menjaga lingkungan. Kegiatan-kegiatan
positif tersebut memang menghasilkan berbagai manfaat baik bagi para relawan
sebagai pelaku maupun kelompok yang dibantu. Dari sisi proses, para relawan
dapat saling menjalin pertemanan hingga jejaring yang lebih dalam dan saling
bertukar ide dalam sebuah diskusi. Ketika kegiatan tersebut diselenggarakan,
para relawan dapat memiliki pengalaman berinteraksi dengan kelompok-kelompok
yang dibantu. Demikian pula dengan kelompok yang dibantu, selain menikmati
bantuan fisik, mereka pun mendapatkan pengalaman baru berkomunikasi dengan para
relawan yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah.
Dalam perjalanannya, para relawan
tersebut sangat menikmati prosesnya sehingga kadangkala melupakan esensi dari
kegiatan yang dilakukan. Sebagai contoh, kegiatan yang bersifat memberikan bantuan
fisik (charity) dilakukan tanpa
memikirkan adanya potensi ketergantungan yang akan ditimbulkan serta
terbentuknya stigma bahwa bantuan itu haruslah berwujud materi karena terlihat,
langsung dirasakan, dan mudah didokumentasikan. Contoh lain adalah kegiatan
mengajar profesi sehari di sekolah dasar. Tujuannya memang mulia, yaitu ingin
menginspirasi anak-anak terhadap berbagai profesi yang eksis di kehidupan
dewasa ini. Namun, apakah benar bahwa dengan para relawan memperkenalkan
profesi kepada anak-anak, hal tersebut akan serta merta berdampak bagi
anak-anak seperti membuat anak-anak menjadi semangat belajar dan melanjutkan sekolah? Bagaimana memastikannya?
Itulah yang kadang terkesan latah dan menjadi trend kaum urban belakangan ini. Contoh lainnya seperti gerakan
menanam sejuta pohon atau membersihkan pantai. Ketika para relawan menanam
pohon dan membersihkan pantai, terdapat bibit yang ditanam di area tersebut dan
pantai pun bersih pada hari itu. Namun, apakah bibit tersebut dirawat dengan
baik sehingga tumbuh menjadi pohon sehingga dapat berkontribusi untuk
menghijaukan bumi? Apakah kegiatan membersihkan pantai itu dilakukan secara
rutin sehingga dipastikan tidak ada lagi sampah yang mencemari pantai?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif itulah yang menarik untuk didiskusikan bersama di
dalam komunitas. Memang, tujuan umumnya sudah baik yaitu ingin menolong orang
lain dalam berbagai cara dan berbagai kesempatan. Namun, alangkah lebih baiknya
apabila kita pun memikirkan keberlanjutan dari berbagai kegiatan sosial
tersebut. Jangan-jangan, komunitas kita hanya fokus pada kepuasan diri untuk
bisa mengaktualisasikan kemampuan sekaligus mendapatkan perhargaan dari orang
lain akan aksi yang kita lakukan tanpa secara lebih dalam memikirkan dampak
keberlanjutan bagi kelompok sasaran. Atau malah berasyik masyuk mencari
lingkungan yang nyaman untuk sekadar mencurahkan isi hati melalui
perbincangan-perbincangan santai di warung kopi.
Saya menyebut fenomena di atas
sebagai pembelajaran. Bahwa refleksi saya saat ini yang juga aktif dalam
komunitas dalam bidang pendidikan adalah ketika kita ingin mendirikan komunitas
atau bergabung dalam sebuah komunitas, maka hal yang perlu dipikirkan adalah
kedalaman esensi dari kegiatan yang akan dilakukan bersama. Hal itulah yang
menjadi keunikan komunitas karena
kegiatannya tak hanya berkisar pada mengurangi gap antara permasalahan dan
solusi, namun juga memaksimalkan potensi individu/kelompok sasaran sehingga
kedepannya mereka dapat mandiri dalam menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Apabila esensi dari kegiatan tersebut sudah tercapai, maka niscaya eksistensi
komunitas tersebut pun dapat terus hidup sehingga tak hanya misi work-life-balanced bagi kaum urban yang
tercapai, namun ada jejak yang senantiasa bertahan dan dapat berkembang organik
dalam sistem sosial masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?