Hembusan angin kian menusuk kulit. Hawa dingin berpadu dengan kilau malu sang mentari yang bersiap menampakkan diri menambah warna sebagai isyarat musim kemarau telah datang menjelang. Dengan langkah gontai, aku keluar dari peraduan, membuka pintu depan dan menghirup udara baru, udara kebebasan. Ya, bebas dari rutinitas serta bebas dari polusi yang memuakkan.
Pancaran matahari kian meruncing, pertanda yang baik untuk menyusuri pagi eksotis di selatan Jawa Barat. Destinasi pertama adalah taman bunga pribadi. Ragam warna dan rupa, membuat syahdu syair sang pujangga. Segera kubidik dari jendela kamera, dan Klik! Tiba-tiba aku dikagetkan dengan gemuruh angin yang lumayan keras. Srrrhh..Suara kibaran terdengar jelas di telinga. Kutengok keatas. Sang Saka, berkibar gagah, menawan rupa, meluapkan asa. Birunya langit dengan awan putih bergerombol menjadi latar belakang yang sangat aduhai. Aku terkesima dibuatnya. Mataku tak dapat terdistorsi oleh apapun jua. Dan Klik! Sungguh gagahnya modelku ini. Lama aku memandangi, semakin aku jatuh hati dibuainya. Kaulah, merah putihku, lambang keberanian, semangat juang yang tak terelakkan, serta kesucian hati yang abadi.
Sabtu, 17 Agustus 2013. Disini, saat mimpi masih menggantung di depan mata, aku dengar suara gemerisik bocah-bocah di luar rumah. Dengan pakaian adat tradisional serta persiapan upacara nan sakral, mereka bergerak setengah berlari, tak mau telat menjadi peserta seremonial kemerdekaan ke 68 ini. Aku hanya menonton, tidak secara langsung, namun hanya dari depan televisi. Detik demi detik menjelang proklamasi menjadi momen berharga untuk dilewatkan. Kenangan sejarah panjang bangsa menuju kemerdekaan, kebebasan dari penjajah pun menjadi bukti kekuatan besar yang terkuak ke dunia. Termenung aku mengingatnya. Pelajaran sejarah kala di bangku sekolah pun terpanggil kembali. Perjanjian Rengasdengklok,Penjahitan bendera pertama, Perumusan naskah proklamasi. Pengibaran bendera merah putih pertama. Saat-saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Haru biru membuncah, darah dan air mata dibayar sudah. Lunas? Tentu belum. Ini adalah awal dari perjuangan yang sebenarnya. Menjadi merdeka yang hakiki.
Upacara kenaikan Sang Saka, dihadiri seluruh pejabat pemerintahan, dibawakan dengan khidmat oleh paskibraka nasional. Suasana semakin bertambah syahdu saat Indonesia Raya dikumandangkan kembali. Namun, bedanya, haru biru tak tampak lagi di pelupuk mata, mungkin dirasa sudah biasa. Entah. Namun, salah satu lagu perjuangan membuat saya terenyuh. Saat refrain dinyanyikan, 'Sekali merdeka tetap merdeka! Selama hayat masih dikandung badan. Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia..Kita tetap setia, tetap sedia, membela negara kita..' Bila ditilik agak dalam, timbul pertanyaan, apakah kita sudah merdeka sepenuhnya? Apakah kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan dan membela Indonesia? Coba tanya nurani. Ada suatu anomali. Lihat ke depan, kenyataan. 17 Agustus ini, yang punya kuasa, dengan gagahnya berdiri menghormati dan berjanji setia pada Sang Saka. 17 tahun yang lalu, tanpa malu, ia praktikan segala jurus kebal hukum untuk mendapatkan tahta dan harta melimpah ruah hasil kerja keras sang profesional dalam bidang perKKNan. 17 bulan yang lalu, dengan tanda seru, ia perintahkan stafnya untuk memalsukan tanda tangannya, menyuap para penguasa elite demi bisnis, dan menuliskan nama anaknya di lembar pengumuman kelulusan sebagai pegawai negeri sipil berkelas. 17 hari yang lalu, dengan dalih tujuan sosial masyarakat, ia meniru gaya Jokowi, blusukan, membagikan sembako dan layanan kesehatan gratis, untuk berpromosi diri dan kampanye partai, berjanji manis dan demikian mudah melupakan semuanya. 17 jam yang lalu, ia menghabiskan dana entah berapa untuk menjamu para elite, membuang muka pada gelandangan di seberang, dan menutup rapat-rapat pertanyaan mengenai asal sumber pembiayaan hidupnya bersama para konco tercintanya. Dan 17 menit yang lalu, dengan muka jauh dari layu, memandang ke depan, ke atas dimana bendera merah putih berkibar bersamaan lagu nasional Indonesia dikumandangkan. Dengan sanggul meruncing, kebaya perlente, tas merk terkenal, sepatu keluaran terbaru, dan parfum yang tak pernah menguap. Pasangan hidup, pasangan praktik politik. Tanpa jiwa, mereka upacara. Tanpa rasa, mereka berbangga. Karena mereka, kami jadi tak merdeka. Karena mereka, sistem menjadi penuh nestapa. Inikah kemerdekaan sesungguhnya yang ingin diciptakan oleh kita? Tak malukah dirimu, bila Bung Karno dan Bung Hatta menyaksikan fakta Indonesia zaman ini? Korupsi bertebaran seperti semut mengerubungi gula serta kolusi dan nepotisme yang tak ada matinya melenggang kangkung bagai model di catwalk. Inikah wajah bangsa di abad 21?
'Tanah air ku tidak kulupakan..kan terkenang, selama hidupku..biarpun saya pergi jauh..tidak kan hilang dari kalbu..tanah ku yang ku cintaii..engkau kuhargaii..' Walau potretmu carut marut. Walau bingkai negaramu seringkali tak adil bagi kami. Namun, bukan kau yang salah. Yag mudalah yang harus bergerak. Mungkin, untuk menggerus kekuasaan semu mereka, menghempaskan kebohongan, menguak fakta. Walau harus sampai menimba alasan hingga ke Roma, namun selalu ada alasan untuk kembali. Menginjak kembali tanah pertiwi. Bernafas kembali walau dengan sedikit polusi. Bergerak dan melakukan sesuatu, sesuai cita-cita mulia, berkontribusi bagi sesama. Walau hanya dengan secarik pemikiran, asalkan benar dan halal, itulah kemerdekaan yang sebenarnya. Merdeka yang hakiki, tanpa pura-pura, apalagi hanya seremonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?