- a bookworm -
Senja menutup hari dengan manis, semanis temu yang tiba-tiba hadir layangkan tawa. Obral buku adalah kesempatan yang ditunggu layaknya kata cinta yang terucap spontan dari hati sang idaman.
Obral abrik! Aktivitas itulah yang saya lakukan bersama seorang teman di salah satu pusat perbelanjaan utara Jakarta. Tak banyak pengunjung yang tertarik datang menengok. Kebanyakan hanya mengerling sejenak melihat tulisan 'Diskon Gede-gedean' kemudian berlalu begitu saja bagai angin sepoi yang membelai wajah. Menganalisis kesempatan manis itu, kami langsung menghambur, memilah milih semua jenis buku yang terhampar di empat bak besar. Bayangkan, waktu yang terbuang. Untuk orang yang menganggap setiap detik berharga untuk dibuang percuma, obral abrik adalah aktivitas sangat melelahkan. Nah, pemikiran orang kebanyakan menjadi kesempatan emas bagi kami. Tanpa pikir berapa harganya, kami langsung ambil semua buku yang menurut kami bagus. Perjuangan kami membuahkan hasil. 7 buku dengan total hanya seratus ribu rupiah berhasil kami kantongi. Rasanya bangga, seperti berhasil meraih juara pertama dalam sebuah pertandingan prestisius. Ah!
Obral buku, book fair, midnite sale, atau apakah istilahnya, adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Seperti seorang shopaholic yang sangat menantikan midnite sale barang-barang bermerek terkenal mahal, demikian pun saya. Seorang bookworm yang hobi belanja buku namun sering kehabisan waktu untuk melahap isinya. Momen diskonan seperti inilah yang membuat toko buku menjadi ramai. Otomatis, aktivitas transaksi pun makin mengular. Prinsip simbiosis mutualisme pun tumbuh pesat. Uang mengalir lancar, pelanggan tak dikecewakan. Itulah diskonan, potret market kebanyakan.
Saya katakan obral buku kali ini menerbitkan sebuah guratan besar di relung kepala. Sebuah misionarisasi pencucian otak telah sukses digelar. Berbagai pengetahuan dan opini pengarang membaur jadi satu, memenuhi sebagian besar memori dan membangunkan syaraf simpatis yang lama tertidur. Minat meluas, alam bawah sadar berkuasa. Ingatan pun mundur teratur ke zaman sekolah menengah dimana idealisme telah mengalahkan suara hati belia. Tanpa sadar, perlahan membunuh dan mengubur namun rohnya ternyata masih bergentayangan di relung terdalam kejiwaan. Dunia sastra, rupa, dan budaya. Ekspresi dinamis yang tak kenal kebakuan. Bagai sebuah keyakinan, ia akan terus mengalir dalam darah, mengisi kekosongan kalbu dan bermuara di poros hidup, axis mundi.
Obral buku,menghapuskan kebakuan, menjauhkan jurang pemisah antara pasak dan tiang, serta mendekatkan manusia gila aksara dengan ragam karya yang maha. Berani mencoba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?