Pagi ini tak seperti biasanya. Mentari yang sejatinya muncul dengan gagah mempersiapkan diri menyinari belahan bumi, kini tampak bermuram durja. Kabut awan dan hawa dingin menyesap ke dalam sukma, menyapu lembut kulit dan menggelitiki hidung, menyukseskan alergi yang tiba-tiba datang mendera. Huatchih! Rasanya, ingin sekali tubuh ini berbalut selimut hangat sepanjang pagi. Namun, detak jarum jam semakin keras, bertalu di gendang telinga. Suara alarm masjid pun kian berkumandang. Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilham.
Aku adalah satu diantara ribuan jiwa yang berjalan demikian gagah dan bangga dengan balutan pakaian muslim, membawa tas berisi mukena wangi hasil kerja keras sabun pencuci pakaian, pelembut, dan pelembut. Memang, sudah ada niatan dalam hati yang direalisasikan beberapa waktu lalu untuk menyengajakan diri mempersiapkan pakaian terindah demi menghadap Sang Pencipta. Terlihat dari kejauhan, orang-orang berbondong-bondong mempercepat langkah menuju lapangan, demi mendapatkan tempat berjejeran dengan sanak saudara, teman, dan tetangga dekat untuk beribadah bersama, merayakan hari kemenangan. Aku pun demikian.
Niat suci telah dirapalkan dalam hati. Sang imam melafazkan takbir pada kedua rakaat dan melantunkan ayat suci dengan syahdu. Tak lambat, tak pula tergesa sehingga menghasilkan sebuah sensasi perasaan yang berbeda, memang benar adanya, Allah lebih dekat dari nadi. Pujian kepada Sang Maha kerap dikumandangkan lewat ceramah singkat nan bermakna. Ditutupnya dengan alunan doa yang mengalir lembut langsung ke dalam kalbu. Terenyuh dan terasa sebagai makhluk hina, tatkala ingat dosa-dosa yang telah dilakukan. Wahai, manusia, waktu yang Aku berikan sepanjang hidupmu, kau gunakan untuk apa saja? Adakah kau sisihkan waktu khusyuk untuk bercengkaram denganKu? Adakah kau taat dan berbakti kepada kedua orangtuamu? Pilu lidah ini. Seperti teriris sembilu rasanya hati ini. Astagfirullahaladzim.
Maaf. Satu kata, tak terhingga maknanya, menjadi awal ijab kabul dengan kehidupan sosial. Ciuman tangan, pelukan, dan bisikan maaf tersampaikan tak berperi. Menembus ke dalam luka terdalam, dosa yang tak disengaja. Orang tua pertama, saudara sekandung kedua, sanak saudara dan tetangga selanjutnya. Mengiringi derap langkah suka cita berkeliling meminta keikhlasan untuk dimaafkan. Pun yang jauh disana, tak luput dari permohonan maaf. Lewat sosial media dan teknologi anyar. Berlomba dalam untaian kata, jutaan doa. Taqaballahuminna Waminkum Shiyamana Washiyamakum. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dan kita dipertemukan pada Ramadhan tahun depan.
Silaturahmi menjadi suguhan wajib untuk menggenapi fitri. Membuat hati gembira penuh suka cita. Menghilangkan lara, menguapkan iri dengki dan nestapa. Mengubur dalam-dalam lirikan status sosial. Menarik kembali tali silaturahmi. Menabur benih persaudaraan antar insan. Walaupun kemarin tak saling kenal dan sapa ketika bertemu muka. Kini, datang menyapa. Menyiratkan sebuah senyuman, menggelegarkan riak tawa, hingga memupuk bibit sadaqah jariah dalam bingkai tolong menolong. Semoga menjadi amalan yang mendarah daging. Tak ada lagi air muka bangga diri hasil kondensasi ujian kekayaan nan kesuksesan anugerah Tuhan yang disia-siakan. Tak ada pula bisikan gosip murahan saat iri hati merajai hati dan menerbangkan sifat kerendahan hati kepada sesama. Hari ini, dimana kemenangan berpadu dalam jiwa, mengikat setiap hati untuk belajar mengikhlaskan diri, menjaga lisan dan perbuatan dari egosentris yang kian menggoda untuk keluar dari belenggu kenistaan hidup, menjadi pribadi fitri berbalut pakaian suci. Putih, bersih, dan hakiki. Inilah hari kemenangan, bukan pelampiasan. Idul Fitri, sudikah engkau bertahan dalam hati ini seterusnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do you think, guys?