Ketika Bulan Ramadhan
sudah di penghujung waktu, umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa sudah
bersiap-siap menyambut hari yang dinanti, hari kemenangan, katanya. Persiapan
pertama, tiket mudik pastinya. Kalau tidak menggunakan kendaraan umum, ya
persiapan kendaraan pribadi yang akan digunakan untuk bertemu keluarga nun jauh
di kampung halaman. Lalu, persiapan sandang dan pangan. Lebaran kurang afdol
kalau tidak dilengkapi dengan pakaian baru dan makanan aneka rupa, yang
seringkali membuat kantong mendadak tipis. Apalagi kalau masih menjalankan
tradisi memberi angpao lebaran ke
sanak saudara yang alih-alih berbagi rezeki, malah memaksakan diri atas nama
gengsi. Selain itu, tak lupa persiapan fisik dan batin. Bertemu keluarga dan
saudara untuk bersilaturahmi seraya saling membisikkan, minal aidin wal faidzin – mohon maaf lahir dan batin, memerlukan
penampilan yang rapi dan wangi sehingga perawatan diri pun menjadi salah satu
persiapan sebelum lebaran. Kalau fisik sudah pantas, maka batin pun perlu dipulas
agar tak kaget bila masuk ke arena diskusi keagamaan hingga kepribadian yang
kebanyakan orang dekati bila dirasa sudah cukup percaya diri atau hindari
karena jadi ajang rumpi yang kadang menghakimi.
Seperti biasa, lebaran tahun ini
adalah sekian kali dirayakan bersama keluarga dan sanak saudara. Karena orang
tua ibu dan/atau ayah masih ada, maka prioritas berlebaran pun akan
diselenggarakan di rumah kediaman kakek nenek kita. Lebaran kian terasa lengkap
kala paman, bibi, sepupu, hingga keponakan memenuhi ruang keluarga. Pelukan,
cium-tangan, dan senyuman kerap menghiasi pertemuan paling lengkap sekali setahun.
Ragam makananan dan minuman, kue lebaran, hingga hidangan penutup menjadi
perekat temu kangen agar semakin berwarna. Biasanya, tiap angkatan usia
memiliki kelompoknya sendiri-sendiri. Anak-anak sibuk bergerombol bereksplorasi
permainan gawai. Para remaja sibuk selfie
dan memperbaharui sosial medianya. Dewasa muda sibuk mengawasi anak-anaknya
bermain sambil berasyik masyuk berdiskusi kehidupan urban yang kian menantang.
Para senior hingga mbah buyut pun tak
kalah sibuk bertukar pikiran seputar dunia kesehatan sampai keagamaan, bekal
untuk mengisi sisa usia, katanya.
Rasanya
tidak ada yang istimewa menjadi fenomena dari potret lebaran tersebut. Tahun
demi tahun, kegiatan itulah yang otomatis dilakukan oleh hampir tiap keluarga.
Namun, ternyata, apabila ditilik lebih jauh, proses berkegiatan dari mulai
bertemu, berdiskusi, hingga berpisah menjadi fenomena yang menarik untuk
ditinjau. Seperti magnet yang memiliki dua kutub, utara dan selatan, demikian
pula saudara yang kita temui pada saat lebaran tiba, ada sisi positif dan
negatif yang menjadi ciri khas masing-masing. Mari kita perhatikan. Anggap
saja, kita adalah seorang dewasa muda usia setengah abad, seorang lajang, yang
masih sibuk berjuang menggapai target pribadi sebagai bekal masa depan untuk
mandiri. Saat lebaran, kita bertemu sanak saudara dari mulai kakek, nenek,
paman, bibi, lengkap dengan sepupu dan keponakan serta saudara-saudara jauh
lainnya. Apabila dalam kebiasaan keluarga, personil yang belum menikah akan
mendapatkan angpao dari yang sudah menikah, maka kita akan
mendapatkannya atas nama tradisi. Lalu, dari semua sepupu yang satu angkatan
dan yang lebih tua, kita merupakan salah satu atau satu-satunya yang belum
menikah atau belum mengenalkan calon pasangannya kepada keluarga. Maka, adegan
yang akan terjadi selanjutnya adalah sesi diskusi atau lebih tepatnya
menasihati, apabila menghakimi terlampau tidak sopan, terhadap jalan hidup yang
sedang dijalani dengan bahagia. Pertanyaan standar yang akan diajukan adalah ‘kapan
mengenalkan pasangan kepada keluarga? Kapan menikah? Sudah mau kepala tiga,
loh. Nanti kalau punya anak, anaknya masih kecil, kamu sudah tua, sudah
pensiun,’ dan lain sebagainya. Jawaban paling aman dan tidak menyulut konflik
berkepanjangan adalah ‘doakan saja, ya!’ baik dengan senyum atau dengan wajah
datar. Atau berjuang meyakinkan para sanak saudara bahwa sebelum memutuskan
untuk menikah, maka perlu bekal yang cukup. Oleh karena itu, sekaranglah
saatnya menyiapkan bekal tersebut, dan lain sebagainya.
Saya
pribadi menyadari bahwa kenyataannya setiap orang menyukai aktivitas merumpi
dan bergosip dalam rangka mengomentari hidup orang lain, baik yang biasa dilakukan
maupun fenomena berbeda, mungkin semacam anomali, yang dilakukan sebagian besar
orang. Rasanya seperti diri kita paling benar diantara orang lain dan ingin
mengecap orang lain aneh bin ajaib. Nah, kebiasaan tersebut secara tidak sadar
pun terjadi saat acara kumpul keluarga pada hari lebaran. Entah siapa yang
menyebarluaskan paham hidup modern bahwa seseorang dikatakan sukses dan bahagia
apabila ia berusia muda kira-kira mulai dari usia seperempat abad, bekerja di
perusahaan terkenal, bergaji tinggi, sudah menikah dan memiliki anak, memiliki
rumah dan mobil, sering ke luar negeri, hingga memiliki investasi dimana-mana. Semua
berkiblat pada materi dan hampir tidak muncul sisi batiniah yang seharusnya
menjadi penentu kesuksesan dan kebahagiaan hakiki. Dari sini saja sudah
terlihat pembeda antara benang hitam dan putihnya, yaitu sebuah perspektif yang
dalam hal ini merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu permasalahan. Maka,
dalam perspektif saya, hal ini akan berimbas pada kesimpulan prematur yang
nirnalar yang diawali dengan pertanyaan menuduh, semacam ‘sudah punya pasangan
atau kapan menikah’. Uniknya, apabila jawabannya tidak seperti yang diinginkan,
maka akan dikaitkan dengan nilai-nilai agama, seperti menikah karena ibadah dan
akan masuk surga. Mungkin, dari sudut pandang Sang Saudara yang bertanya, ia
melihat kita berbeda dengan dirinya dan kebanyakan orang sehingga ia merasa
perlu membantu kita menemukan jalan yang lurus seperti definisinya. Namun,
dalam perspektif kita, hal tersebut justru mengganggu karena mencampuri urusan
pribadi orang lain sampai menghakimi dengan pertanyaan-pertanyaan yang
menyinggung. Karena hal mendasar, yaitu perspektif yang berbeda, maka ada dua
jalan yang dapat dipilih, menghindar karena akan berpotensi menjadi debat
kusir, atau berdiskusi berdasarkan opini masing-masing dan secara sadar akan
berakhir tanpa ada yang benar atau salah.
Apabila
semisal saya yang dihadapkan pada kondisi tersebut, maka saya akan menerapkan
kedua pilihan tersebut sesuai dengan lawan bicara yaitu dengan pertimbangan
usia dan kondisi kesehatannya. Pada dasarnya, semua yang berhubungan dengan
jalan hidup merupakan hak kita untuk memutuskan. Toh, yang menjalani adalah
kita sendiri, maka pilihlah jalan yang dicintai, dapat dipertanggungjawabkan
oleh diri sendiri, dan tidak merugikan orang lain. Perkara sukses yang
digeneralisasi melalui materi tanpa mempertimbangkan makna kesuksesan itu
sendiri, itu urusan kita untuk memaknai dan mencapainya. Materi memang perlu,
tapi tidak semua materi menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Pembelajaran
untuk diri sendiri adalah jangan main hakim sendiri terhadap hidup orang lain.
Kalau orang lain kesulitan, memangnya kita mau menolongnya bangkit hingga
menjadi sukses seperti definisi kita? Lagi-lagi itu adalah perspektif diri saya
dalam melihat fenomena hidup. Apabila ada orang lain yang beropini lain, ya
silakan saja. Toh, kita sama-sama manusia yang menumpang hidup di muka bumi,
untuk apa saling mencaci, menghakimi, apalagi mengebiri.
Ah,
lagi-lagi soal perspektif. Serahkan sajalah kepada orang yang sudah dewasa,
dalam laku dan kata. Selamat lebaran, umat manusia yang hidup dalam perspektif.
Maknai perspektif dengan arif walau seringkali penuh dengan kontradiktif.